Jakarta - Peci hitam itu sebenarnya sudah akrab nangkring di kepala pegiat LSM Ray Rangkuti. Sejak masih bocah, dia gemar keluar rumah dengan mengenakan peci. Ketika kuliah, peci itu ditanggalkannya. Tapi hampir dua tahun belakangan ini, dia konsisten berpeci.
"Saya pakai peci ini sudah hampir dua tahun. Sebenarnya sudah tradisi dari kecil, soalnya dulu saya kan sekolah di pesantren," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) itu dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (15/4/2011).
Dia menuturkan, kebiasaan keluar rumah dengan memakai peci ditinggalkannya saat memasuki bangku kuliah. Maklum, kala itu dia aktif turun ke jalan untuk mengkritik pemerintah dalam aksi bersama mahasiswa-mahasiwa lainnya.
"Terpaksa nggak pakai peci, karena waktu zaman Orde Baru, dengan memakai peci maka akan memperjelas identitas," sambungnya.
Bagi dia, peci hitam sebenarnya adalah identitas nasional yang meleburkan suku maupun agama. Peci dikenal banyak digunakan oleh orang Indonesia, atau setidaknya orang Melayu.
"Ini juga saya pakai karena banyak orang pakai peci rohani. Peci rohani tidak masalah sebenarnya, tapi jangan sampai melupakan identitas nasional juga. Peci haji itu dulu identik dipakai oleh orang yang sudah berhaji. Tapi peci hitam dari dulu dipakai siapa saja," tutur alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah ini.
Tradisi memakai peci juga banyak ditemui di kampung-kampung. Karena itu, Ray pun ingin memelihara tradisi ini. Kendati gemar memakai peci saat keluar rumah, Ray hanya memiliki dua peci hitam polos. Peci ini dipakainya berganti-gantian.
"Saya tidak koleksi peci, hanya punya dua untuk ganti-gantian," ucapnya sambil tergelak.
Selama menjadi aktivis yang banyak mengkritik pemerintah, Ray pun sering mendapat 'gangguan'. Kala masih mahasiswa, dia pernah dikuntit orang yang dia duga sebagai intel. Kini, dia sering mendapat telepon dari nomor tidak dikenal yang mencaci maki dirinya. Namun sebagaimana aktivis lainnya, Ray sudah kebal. Ancaman atau pun makian tidak membuatnya gentar untuk terus kritis terhadap pemerintah.
Dia tidak bermaksud mencari-cari kesalahan pemerintah. Namun pria yang memiliki nama asli Ahmad Fauzi ini hanya ingin menjalankan perannya sebagai bagian dari masyarakat sipil. Bahkan ketika beberapa waktu lalu bom buku merebak, dia tidak takut akan menjadi salah satu sasaran.
"Cuma satu yang saya takuti, Allah SWT," kata Ray.
Lajang kelahiran Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, 20 Agustus 1969 itu terkadang rindu kampung halamannya. Namun karena berat di ongkos, maka dia tidak bisa sesuka hati untuk pulang kampung.
Matahari bergerak perlahan ke atas kepala, Ray yang sering kali 'galak' kepada DPR itu pamit dari ujung telepon. "Saya tadi habis mencuci. Sekarang mau menyeterika," kata dia sambil tertawa.
"Saya pakai peci ini sudah hampir dua tahun. Sebenarnya sudah tradisi dari kecil, soalnya dulu saya kan sekolah di pesantren," ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) itu dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (15/4/2011).
Dia menuturkan, kebiasaan keluar rumah dengan memakai peci ditinggalkannya saat memasuki bangku kuliah. Maklum, kala itu dia aktif turun ke jalan untuk mengkritik pemerintah dalam aksi bersama mahasiswa-mahasiwa lainnya.
"Terpaksa nggak pakai peci, karena waktu zaman Orde Baru, dengan memakai peci maka akan memperjelas identitas," sambungnya.
Bagi dia, peci hitam sebenarnya adalah identitas nasional yang meleburkan suku maupun agama. Peci dikenal banyak digunakan oleh orang Indonesia, atau setidaknya orang Melayu.
"Ini juga saya pakai karena banyak orang pakai peci rohani. Peci rohani tidak masalah sebenarnya, tapi jangan sampai melupakan identitas nasional juga. Peci haji itu dulu identik dipakai oleh orang yang sudah berhaji. Tapi peci hitam dari dulu dipakai siapa saja," tutur alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah ini.
Tradisi memakai peci juga banyak ditemui di kampung-kampung. Karena itu, Ray pun ingin memelihara tradisi ini. Kendati gemar memakai peci saat keluar rumah, Ray hanya memiliki dua peci hitam polos. Peci ini dipakainya berganti-gantian.
"Saya tidak koleksi peci, hanya punya dua untuk ganti-gantian," ucapnya sambil tergelak.
Selama menjadi aktivis yang banyak mengkritik pemerintah, Ray pun sering mendapat 'gangguan'. Kala masih mahasiswa, dia pernah dikuntit orang yang dia duga sebagai intel. Kini, dia sering mendapat telepon dari nomor tidak dikenal yang mencaci maki dirinya. Namun sebagaimana aktivis lainnya, Ray sudah kebal. Ancaman atau pun makian tidak membuatnya gentar untuk terus kritis terhadap pemerintah.
Dia tidak bermaksud mencari-cari kesalahan pemerintah. Namun pria yang memiliki nama asli Ahmad Fauzi ini hanya ingin menjalankan perannya sebagai bagian dari masyarakat sipil. Bahkan ketika beberapa waktu lalu bom buku merebak, dia tidak takut akan menjadi salah satu sasaran.
"Cuma satu yang saya takuti, Allah SWT," kata Ray.
Lajang kelahiran Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, 20 Agustus 1969 itu terkadang rindu kampung halamannya. Namun karena berat di ongkos, maka dia tidak bisa sesuka hati untuk pulang kampung.
Matahari bergerak perlahan ke atas kepala, Ray yang sering kali 'galak' kepada DPR itu pamit dari ujung telepon. "Saya tadi habis mencuci. Sekarang mau menyeterika," kata dia sambil tertawa.
Komentar
Posting Komentar
Just post what's on your mind