Malang - Merencanakan dan menjalankan bisnis bagi sebagian banyak orang, menganggapnya terlalu ribet dan banyak pertimbangan penuh risiko. Namun lain hal dengan Djumakah salah satu perajin tikar lipat asal Wajak, Malang Jawa Timur, baginya menjalankan usaha sebagai perajin tikar ia anggap mengalir begitu saja seperti air.
Djumakah yang memulai usaha pembuatan tikar lipat sejak 1990 ini mengaku tak muluk-muluk dalam menjalankan bisnis. Baginya asalkan ada kelebihan (margin) dan bisa mempekerjakan banyak orang, itu sudah cukup.
Tak mengherankan gaya berbisnisnya begitu bersehaja dengan manajemen sederhana dengan bermodalkan keuletan dan kejujuran. Namun dengan itu lah yang membuat, usaha tikar lipat Djumakah bisa bertahan hingga 20 tahun lebih dengan merek 'Eagles'
Inilah potret kecil karakter dari sekian ribuan industri kecil di Tanah Air. Umumnya memulai atau terjun ke bisnis dari keadaan atau dari kondisi yang tak ada pilihan lain, justru orang-orang seperti Djumakah lah yang terbentuk secara alami sebagai wirausahawan (entrepreneur) yang tangguh tahan banting.
"Alasan saya dulu terjun menjadi pembuat tikar, dari pada nganggur, ya saya mencoba tikar," katanya kepada detikFinance pekan lalu.
Kisah awal Djumakah masuk ke bisnis ini semua serba kebetulan, ia memulai dengan pembuatan tikar mendong dari rerumputan. Namun di 2005 ia melakukan diversifikasi produk dengan memberikan sentuhan baru dari produknya yaitu tikar karpet dari bahan benang dan tali rapia.
Apa yang dilakukan Djumakah, sebagai bentuk inovasi bagi seorang pengusaha untuk bertahan dibisnisnya. Meski proses inovasi itu baru terjadi 15 tahun kemudian semenjak ia memulai usaha.
Kini ia telah memproduksi dua jenis tikar yaitu tikar karpet dan tikar mendong. Meski tak sebesar industri kelas kakap, dengan produksi 60 tikar per harinya atau 1800 tikar per bulan, baginya itu sudah mampu memutar roda ekonomi di kampungnya.
"Sekarang produksi tikar saya kurang lebih 60 lembar (per hari), dengan karyawan (sub kontrak) ada 22 orang," jelasnya.
Soal pemasaran, ia nampaknya belum berpikir untuk muluk-muluk. Produk-produknya kini masih sebatas ia pasarkan di Jawa Timur dan sebagian di Bali khusus untuk jenis tikar mendong. Di Jawa Timur permintaan tikarnya paling banyak berada di sekitar Malang, Tulungagung, Blitar dan wilayah lainnya.
"Kalau tikar mendong lebih banyak dikirim ke Bali, untuk para turis tidur di pantai," katanya.
Untuk urusan harga, Djumakah hanya membandrol Rp 46.000 per lembar tikar karpetnya, sementara tikar mendong ia hanya jual Rp 13.000 per lembar. Harga ini memang relatif sangat murah jika melihat modal yang harus ia keluarkan.
Ia mengilustrasikan untuk memproduksi satu lembar tikar karpet membutuhkan kurang lebih 1 kg benang dan 1,7 kg tali rapia. Sementara harga benang per kilogramnya Rp 13.000-15.000, harga tali rapia Rp 8.500 per kg dan biaya produksi seperti ongkos kerja Rp 6.000, ongkos jahit Rp 1.000 dan ongkos gulung Rp 6.000.
"Memang kalau bicara untung, tipis sekali, yang penting dapat, biar sedikit asal tetap mutar," katanya.
Pola yang dikembangkan oleh Djumakah cukup mendorong ekonomi masyarakat disekitarnya. Dengan pola sub kontrak kepada para tetangganya ia menjadi penggerak ekonomi di lingkungannya.
"Di sisi ada proses pengulungan, lalu setengah jadi dibawa ke rumah-rumah," katanya.
Sebagai pengusaha yang sudah menggeluti bisnis tikar puluhan tahun, Djumakah mengaku sudah biasa dengan fluktuasi permintaan tikar. Misalnya pada awal tahun ini permintaan produk tikarnya, cukup turun drastis karena pola permintaan pasar yang umumnya adalah para petani dan musim liburan.
"Sekarang permintaan sedang turun sekitar dua bulan sampai 50%," katanya.
Ia menambahkan naik turun dalam bisnis suatu hal yang lazim yang penting adalah semangat. Sehingga tak mengherankan sampai saat ini ia bisa bertahan menggeluti usaha tikar. Kini perekonomian keluarganya jauh lebih baik dibandingkan ketika ia sebelumnya menjadi petani, rumah yang cukup mapan dan kendaraan angkut roda empat kini sudah dimilikinya.
Dikatakannya apa yang ia lakukan saat ini bermodal kemandirian tanpa bantuan dari pemerintah. Soal persaingan antara sesama perajin di Wajak, ia tetap optimis bahwa hal itu bukan lah masalah, yang terpenting meningkatkan kualitas produk.
"Sampai sekarang dari pemerintah nggak ada bantuan, dulu pernah ada bantuan Jasa Tirta (BUMN), uang Rp 3 juta angsuran 2 tahun tanpa bunga," katanya.
Kerajinan Tikar Lipat Eagles
Djumakah dan Kastin
Jl. Raung 2B 15 Wajak, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Jawa Timur
Djumakah yang memulai usaha pembuatan tikar lipat sejak 1990 ini mengaku tak muluk-muluk dalam menjalankan bisnis. Baginya asalkan ada kelebihan (margin) dan bisa mempekerjakan banyak orang, itu sudah cukup.
Tak mengherankan gaya berbisnisnya begitu bersehaja dengan manajemen sederhana dengan bermodalkan keuletan dan kejujuran. Namun dengan itu lah yang membuat, usaha tikar lipat Djumakah bisa bertahan hingga 20 tahun lebih dengan merek 'Eagles'
Inilah potret kecil karakter dari sekian ribuan industri kecil di Tanah Air. Umumnya memulai atau terjun ke bisnis dari keadaan atau dari kondisi yang tak ada pilihan lain, justru orang-orang seperti Djumakah lah yang terbentuk secara alami sebagai wirausahawan (entrepreneur) yang tangguh tahan banting.
"Alasan saya dulu terjun menjadi pembuat tikar, dari pada nganggur, ya saya mencoba tikar," katanya kepada detikFinance pekan lalu.
Kisah awal Djumakah masuk ke bisnis ini semua serba kebetulan, ia memulai dengan pembuatan tikar mendong dari rerumputan. Namun di 2005 ia melakukan diversifikasi produk dengan memberikan sentuhan baru dari produknya yaitu tikar karpet dari bahan benang dan tali rapia.
Apa yang dilakukan Djumakah, sebagai bentuk inovasi bagi seorang pengusaha untuk bertahan dibisnisnya. Meski proses inovasi itu baru terjadi 15 tahun kemudian semenjak ia memulai usaha.
Kini ia telah memproduksi dua jenis tikar yaitu tikar karpet dan tikar mendong. Meski tak sebesar industri kelas kakap, dengan produksi 60 tikar per harinya atau 1800 tikar per bulan, baginya itu sudah mampu memutar roda ekonomi di kampungnya.
"Sekarang produksi tikar saya kurang lebih 60 lembar (per hari), dengan karyawan (sub kontrak) ada 22 orang," jelasnya.
Soal pemasaran, ia nampaknya belum berpikir untuk muluk-muluk. Produk-produknya kini masih sebatas ia pasarkan di Jawa Timur dan sebagian di Bali khusus untuk jenis tikar mendong. Di Jawa Timur permintaan tikarnya paling banyak berada di sekitar Malang, Tulungagung, Blitar dan wilayah lainnya.
"Kalau tikar mendong lebih banyak dikirim ke Bali, untuk para turis tidur di pantai," katanya.
Untuk urusan harga, Djumakah hanya membandrol Rp 46.000 per lembar tikar karpetnya, sementara tikar mendong ia hanya jual Rp 13.000 per lembar. Harga ini memang relatif sangat murah jika melihat modal yang harus ia keluarkan.
Ia mengilustrasikan untuk memproduksi satu lembar tikar karpet membutuhkan kurang lebih 1 kg benang dan 1,7 kg tali rapia. Sementara harga benang per kilogramnya Rp 13.000-15.000, harga tali rapia Rp 8.500 per kg dan biaya produksi seperti ongkos kerja Rp 6.000, ongkos jahit Rp 1.000 dan ongkos gulung Rp 6.000.
"Memang kalau bicara untung, tipis sekali, yang penting dapat, biar sedikit asal tetap mutar," katanya.
Pola yang dikembangkan oleh Djumakah cukup mendorong ekonomi masyarakat disekitarnya. Dengan pola sub kontrak kepada para tetangganya ia menjadi penggerak ekonomi di lingkungannya.
"Di sisi ada proses pengulungan, lalu setengah jadi dibawa ke rumah-rumah," katanya.
Sebagai pengusaha yang sudah menggeluti bisnis tikar puluhan tahun, Djumakah mengaku sudah biasa dengan fluktuasi permintaan tikar. Misalnya pada awal tahun ini permintaan produk tikarnya, cukup turun drastis karena pola permintaan pasar yang umumnya adalah para petani dan musim liburan.
"Sekarang permintaan sedang turun sekitar dua bulan sampai 50%," katanya.
Ia menambahkan naik turun dalam bisnis suatu hal yang lazim yang penting adalah semangat. Sehingga tak mengherankan sampai saat ini ia bisa bertahan menggeluti usaha tikar. Kini perekonomian keluarganya jauh lebih baik dibandingkan ketika ia sebelumnya menjadi petani, rumah yang cukup mapan dan kendaraan angkut roda empat kini sudah dimilikinya.
Dikatakannya apa yang ia lakukan saat ini bermodal kemandirian tanpa bantuan dari pemerintah. Soal persaingan antara sesama perajin di Wajak, ia tetap optimis bahwa hal itu bukan lah masalah, yang terpenting meningkatkan kualitas produk.
"Sampai sekarang dari pemerintah nggak ada bantuan, dulu pernah ada bantuan Jasa Tirta (BUMN), uang Rp 3 juta angsuran 2 tahun tanpa bunga," katanya.
Kerajinan Tikar Lipat Eagles
Djumakah dan Kastin
Jl. Raung 2B 15 Wajak, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang Jawa Timur
Komentar
Posting Komentar
Just post what's on your mind