Jakarta - Sepiring gado-gado dan nasi putih itu terhidang di hadapan Ian Johnson, si penulis kelas internasional. Segarnya sayur rebus plus berbagai pelengkapnya yang dipadu dengan bumbu kacang membuat lidah Ian 'menari'. Tak lama kemudian, gado-gado itu pun habis.
"Ini enak, saya suka," ujar Ian antusias saat bertemu dengan media massa Indonesia di Tamani Kafe, Melawai, Jakarta Selatan, pertengahan pekan ini.
Pria yang pernah belajar Kajian Asia and Jurnalisme dari Universitas Florida ini tampak sangat menikmati makanannya. Kerupuk, emping, telur rebus dan semua bagian dari gado-gado itu tidak ada yang luput dicicipinya. Seperti kebanyakan 'bule' yang datang ke suatu negara, mencicipi makanan khas negara itu lebih menarik ketimbang makanan-makanan internasional.
"Nanti saya ingin datang ke Indonesia lagi. Mungkin ke Bandung atau Yogyakarta. Akan saya rencanakan," imbuh peraih penghargaan Pulitzer pada 2001.
Bagi pria kelahiran Montreal, Kanada ini, Indonesia adalah negara yang menarik. Sebab Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Karena itu dia yakin, akan banyak orang Indonesia yang tertarik pada buku barunya, 'Sebuah Masjid di Munich, Konspirasi Nazi, CIA dan Ikhwanul Muslimin'.
Pria bernama lengkap Ian Denis Johnson ini pernah bekerja sebagai wartawan di Wall Street Journal. Liputannya tentang pelarangan Falun Gong di China membuatnya diganjar penghargaan Pulitzer.
Pulitzer adalah penghargaan yang dianggap tertinggi dalam bidang jurnalisme cetak di Amerika Serikat. Penghargaan ini juga diberikan dalam sastra dan kesenian. Suatu badan independen di Sekolah Jurnalisme Universitas Columbia di Amerika Serikat bertanggung jawab memilih para penerima penghargaan.
Ian mulai menulis full-time pada tahun 1981 di The Independent Florida Alligator, surat kabar mahasiswa yang berbasis di Gainesville, Florida. Setelah lulus dari Universitas Columbia dan Universitas Peking, dia berkerja di Orlando Sentinel.
Pada 1986, dia belajar bahasa di Taiwan National Normal University’s Mandarin Training Center. Dua tahun kemudian, dia pindah ke Berlin, Jerman. Di kota itu, Ian bekerja freelance. Sembari menyelesaikan pendidikan masternya di Kajian China, ia meliput jatuhnya Tembok Berlin dan reunifikasi Jerman untuk Baltimore’s The Sun and The St. Petersburg Times.
Lalu pada 1992, The Sun memintanya sebagai koresponden yang berbasis di New York. Selanjutnya pada tahun 1994 ia dikirim ke Biro Beijing. Selanjutnya, pada 1997, ia pindah ke Wall Street Journal. Atas liputannya untuk Wallstreet, Ian menyabet beberapa penghargaan, bukan hanya Pulitzer, tapi dia juga mendapat penghargaan dari Overseas Press Club dan Society of Professional Journalists.
Pada 2004, Ian mempublikasikan 'Wild Grass: Three Stories of Change in Modern China (Pantheon)' yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ian meninggalkan Wall Street Journal setelah 13 tahun berada di sana. Kini Ian bekerja untuk New York Times di Biro Beijing.
Ian mengaku, proses meembuat buku 'Sebuah Masjid di Munich, Konspirasi Nazi, CIA dan Ikhwanul Muslimin' tidaklah mudah. Pencarian data dan penulisan membutuhkan waktu 4 hingga 5 tahun.
Riset atas isi buku tersebut dimulai sesaat setelah Ian kebetulan berada di toko buku di London, Inggris. Di toko buku itu, dia menemukan gambar masjid paling terkenal di Eropa. Salah satunya adalah masjid di Munich, Jerman.
"Saya pikir kenapa masjid ini masuk, padahal bukan yang paling besar di dunia atau di Jerman. Akhirnya saya melakukan riset berkaitan dengan tema, bagaimana orang di negara tertentu menggunakan suatu agama dengan cara yang salah," terang Ian.
Karena isi buku terkait dengan CIA, Ian pun tidak mudah menemukan berbagai arsip. Apalagi, banyak arsip yang terserak, saksi mata yang telah tiada atau narasumber yang sudah berusia tua. Namun toh Ian tidak menyerah. Buku terbitan Literati itu kini telah bisa dinikmati masyarakat Indonesia dalam 451 halaman. Tertarik membaca?
"Ini enak, saya suka," ujar Ian antusias saat bertemu dengan media massa Indonesia di Tamani Kafe, Melawai, Jakarta Selatan, pertengahan pekan ini.
Pria yang pernah belajar Kajian Asia and Jurnalisme dari Universitas Florida ini tampak sangat menikmati makanannya. Kerupuk, emping, telur rebus dan semua bagian dari gado-gado itu tidak ada yang luput dicicipinya. Seperti kebanyakan 'bule' yang datang ke suatu negara, mencicipi makanan khas negara itu lebih menarik ketimbang makanan-makanan internasional.
"Nanti saya ingin datang ke Indonesia lagi. Mungkin ke Bandung atau Yogyakarta. Akan saya rencanakan," imbuh peraih penghargaan Pulitzer pada 2001.
Bagi pria kelahiran Montreal, Kanada ini, Indonesia adalah negara yang menarik. Sebab Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Karena itu dia yakin, akan banyak orang Indonesia yang tertarik pada buku barunya, 'Sebuah Masjid di Munich, Konspirasi Nazi, CIA dan Ikhwanul Muslimin'.
Pria bernama lengkap Ian Denis Johnson ini pernah bekerja sebagai wartawan di Wall Street Journal. Liputannya tentang pelarangan Falun Gong di China membuatnya diganjar penghargaan Pulitzer.
Pulitzer adalah penghargaan yang dianggap tertinggi dalam bidang jurnalisme cetak di Amerika Serikat. Penghargaan ini juga diberikan dalam sastra dan kesenian. Suatu badan independen di Sekolah Jurnalisme Universitas Columbia di Amerika Serikat bertanggung jawab memilih para penerima penghargaan.
Ian mulai menulis full-time pada tahun 1981 di The Independent Florida Alligator, surat kabar mahasiswa yang berbasis di Gainesville, Florida. Setelah lulus dari Universitas Columbia dan Universitas Peking, dia berkerja di Orlando Sentinel.
Pada 1986, dia belajar bahasa di Taiwan National Normal University’s Mandarin Training Center. Dua tahun kemudian, dia pindah ke Berlin, Jerman. Di kota itu, Ian bekerja freelance. Sembari menyelesaikan pendidikan masternya di Kajian China, ia meliput jatuhnya Tembok Berlin dan reunifikasi Jerman untuk Baltimore’s The Sun and The St. Petersburg Times.
Lalu pada 1992, The Sun memintanya sebagai koresponden yang berbasis di New York. Selanjutnya pada tahun 1994 ia dikirim ke Biro Beijing. Selanjutnya, pada 1997, ia pindah ke Wall Street Journal. Atas liputannya untuk Wallstreet, Ian menyabet beberapa penghargaan, bukan hanya Pulitzer, tapi dia juga mendapat penghargaan dari Overseas Press Club dan Society of Professional Journalists.
Pada 2004, Ian mempublikasikan 'Wild Grass: Three Stories of Change in Modern China (Pantheon)' yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ian meninggalkan Wall Street Journal setelah 13 tahun berada di sana. Kini Ian bekerja untuk New York Times di Biro Beijing.
Ian mengaku, proses meembuat buku 'Sebuah Masjid di Munich, Konspirasi Nazi, CIA dan Ikhwanul Muslimin' tidaklah mudah. Pencarian data dan penulisan membutuhkan waktu 4 hingga 5 tahun.
Riset atas isi buku tersebut dimulai sesaat setelah Ian kebetulan berada di toko buku di London, Inggris. Di toko buku itu, dia menemukan gambar masjid paling terkenal di Eropa. Salah satunya adalah masjid di Munich, Jerman.
"Saya pikir kenapa masjid ini masuk, padahal bukan yang paling besar di dunia atau di Jerman. Akhirnya saya melakukan riset berkaitan dengan tema, bagaimana orang di negara tertentu menggunakan suatu agama dengan cara yang salah," terang Ian.
Karena isi buku terkait dengan CIA, Ian pun tidak mudah menemukan berbagai arsip. Apalagi, banyak arsip yang terserak, saksi mata yang telah tiada atau narasumber yang sudah berusia tua. Namun toh Ian tidak menyerah. Buku terbitan Literati itu kini telah bisa dinikmati masyarakat Indonesia dalam 451 halaman. Tertarik membaca?
Komentar
Posting Komentar
Just post what's on your mind