Namanya singkat saja, Ramdhani, dan nama yang umum saja memang. Wajahnya seperti anak Indonesia kebanyakan, melayu dengan sedikit sentuhan paras Sunda. Kami mengenalnya ketika sedang mengikuti kegiatan dari Global Peace Festival yaitu Service Project, sebuah kegiatan sosial dimana kami para mahasiswa terjun langsung ke lapangan untuk membantu warga di daerah Dayeuh Kolot, Kab. Bandung.
Sebagian dari peserta ada yang bertugas membersihkan lingkungan sekitar semisal memungut sampah di sungai atau sekadar memungut sampah di jalanan, sebagian yang lain memasak bersama para ibu, dan sebagian lain termasuk kami berdua bermain bersama anak-anak lingkungan itu. Melihat anak-anak itu aku jadi merindukan masa kecilku : ceria, penuh kegembiraan, dan jauh dari tekanan apapun.
Tapi tidak untuk Ramdhani. Saat pertama melihatnya kami pikir dia sama saja seperti anak kecil lain, suka kelayapan dan merepotkan orang tuanya. Sementara teman-temannya beterbangan riang kesana-kemari Ramdhani hanya diam, mengamati khusyuk teman-temannya dan tersenyum, terkadang tertawa sendiri. Kami mendatanginya, hanya karena tak ada peserta lain yang mengajaknya bermain, dan kami ajak dia untuk bergabung.
“Nuhun Neng…tapi maaf anak saya sedang ada masalah.” potong ibunya. Kami kemudian meminta maaf pada ibu itu, tapi baru beberapa langkah ia memanggil kami kembali.
“Kadieu sakedap ibu badhe carios.” kami hanya datang menyanggupi permintaanya.
Ibu Ramdhani mengajak kami masuk ke dalam rumah, membiarkan Ramdhani sendirian di teras. Ia kemudian mulai bercerita mengenai kondisi Ramdhani sebenarnya.
Sudah beberapa tahun belakangan Ramdhani memiliki keanehan pada syaraf motoriknya dimana ia tak bisa menggerakkan hampir semua ototnya. Tubuh Ramdhani terkunci nyaris total, tetapi pikiran dan jiwanya masih tak berbeda dari anak kecil lainnya. Ia tertawa saat mendengar orang lain menceritakan lelucon atau bertingkah konyol. Ia menangis saat mendengar sesuatu yang menyentuh hatinya. Dari dalam rumah kulongok Ramdhani tertawa riang melihat teman-temannya bermain. Hebat, ia tak merasa sedih ditinggal sendirian di teras sementara kawan-kawannya berkeliaran riang di depan matanya.
Sang ibu sudah barang pasti punya keinginan melihat anaknya kelayapan riang layaknya anak kecil lainnya itu. Kabarnya fisioterapi adalah salah satu jalannya dan tentu sang ibu mengusahakannya. Pernah beberapa kali ia membawa Ramdhani ke fisioterapi, namun tak ia teruskan. Alasannya? Klasik bin kuno. Berlandas kekurangan finansial. Biaya fisioterapi sebesar Rp. 90,000 tak sanggup terus-terusan ia tebus setiap bulan.
Sungguh paradoks! Begitu pikirku kala itu. Seringkali saat di pusat perbelanjaan kulihat manusia-manusia membelanjakan duitnya seenak perutnya dimana nominal Rp. 90,000 bisa jadi terlihat sekedar recehan. Sementara ibu Ramdhani harus berusaha ekstra untuk biaya terapi anaknya. Padahal anaknya itu punya harapan terbuka untuk sembuh. Padahal dengan Rp. 90,000/bulan selangkah demi selangkah Ramdhani menjadi semakin dekat dengan keceriaan ‘wajib’ masa kanak-kanak. Padahal Rp. 90,000 itu begitu remeh, bahkan bagi mahasiswa seperti kami, tapi terasa jauh bagi ibu Ramdhani.
Menerawang masa kecilku sendiri, maupun anak kecil lainnya. Maruko, Shin-chan, Upin-Ipin dan kawan-kawannya. Tidakkah masa kecil selalu digambarkan oleh keriangan? Tidakkah anak kecil harusnya berlarian dengan liar, jatuh, berdarah lalu menangis, dimarahi ibunya, menangis lagi dan esoknya ia ceria lagi, berlarian lagi, memanjat pohon, jatuh lalu menangis lagi…?
Mengapa uang sebesar Rp. 90,000 menghalangi Ramdhani dari semua siklus menyenangkan itu? Terkadang misteri hidup lebih rumit dari rumus fisika karya Einstein dan Newton, menurutku.
Fisioterapis itu, mengapa pula tak tergugah nuraninya dengan membebaskan biaya terapi bagi Ramdhani? Untuk apa ia menjadi fisioterapis? Untuk menolong orang yang membutuhkankah? Jika iya, saat ada seseorang yang membutuhkan tetapi tak punya duit tegakah ia menolaknya?
Bagaimana jika Ramdhani itu adalah adik kita, kakak kita, teman kita, atau malah kita sendiri?
©Bandung, Maret 2011
Sebagian dari peserta ada yang bertugas membersihkan lingkungan sekitar semisal memungut sampah di sungai atau sekadar memungut sampah di jalanan, sebagian yang lain memasak bersama para ibu, dan sebagian lain termasuk kami berdua bermain bersama anak-anak lingkungan itu. Melihat anak-anak itu aku jadi merindukan masa kecilku : ceria, penuh kegembiraan, dan jauh dari tekanan apapun.
Tapi tidak untuk Ramdhani. Saat pertama melihatnya kami pikir dia sama saja seperti anak kecil lain, suka kelayapan dan merepotkan orang tuanya. Sementara teman-temannya beterbangan riang kesana-kemari Ramdhani hanya diam, mengamati khusyuk teman-temannya dan tersenyum, terkadang tertawa sendiri. Kami mendatanginya, hanya karena tak ada peserta lain yang mengajaknya bermain, dan kami ajak dia untuk bergabung.
“Nuhun Neng…tapi maaf anak saya sedang ada masalah.” potong ibunya. Kami kemudian meminta maaf pada ibu itu, tapi baru beberapa langkah ia memanggil kami kembali.
“Kadieu sakedap ibu badhe carios.” kami hanya datang menyanggupi permintaanya.
Ibu Ramdhani mengajak kami masuk ke dalam rumah, membiarkan Ramdhani sendirian di teras. Ia kemudian mulai bercerita mengenai kondisi Ramdhani sebenarnya.
Sudah beberapa tahun belakangan Ramdhani memiliki keanehan pada syaraf motoriknya dimana ia tak bisa menggerakkan hampir semua ototnya. Tubuh Ramdhani terkunci nyaris total, tetapi pikiran dan jiwanya masih tak berbeda dari anak kecil lainnya. Ia tertawa saat mendengar orang lain menceritakan lelucon atau bertingkah konyol. Ia menangis saat mendengar sesuatu yang menyentuh hatinya. Dari dalam rumah kulongok Ramdhani tertawa riang melihat teman-temannya bermain. Hebat, ia tak merasa sedih ditinggal sendirian di teras sementara kawan-kawannya berkeliaran riang di depan matanya.
Sang ibu sudah barang pasti punya keinginan melihat anaknya kelayapan riang layaknya anak kecil lainnya itu. Kabarnya fisioterapi adalah salah satu jalannya dan tentu sang ibu mengusahakannya. Pernah beberapa kali ia membawa Ramdhani ke fisioterapi, namun tak ia teruskan. Alasannya? Klasik bin kuno. Berlandas kekurangan finansial. Biaya fisioterapi sebesar Rp. 90,000 tak sanggup terus-terusan ia tebus setiap bulan.
Sungguh paradoks! Begitu pikirku kala itu. Seringkali saat di pusat perbelanjaan kulihat manusia-manusia membelanjakan duitnya seenak perutnya dimana nominal Rp. 90,000 bisa jadi terlihat sekedar recehan. Sementara ibu Ramdhani harus berusaha ekstra untuk biaya terapi anaknya. Padahal anaknya itu punya harapan terbuka untuk sembuh. Padahal dengan Rp. 90,000/bulan selangkah demi selangkah Ramdhani menjadi semakin dekat dengan keceriaan ‘wajib’ masa kanak-kanak. Padahal Rp. 90,000 itu begitu remeh, bahkan bagi mahasiswa seperti kami, tapi terasa jauh bagi ibu Ramdhani.
Menerawang masa kecilku sendiri, maupun anak kecil lainnya. Maruko, Shin-chan, Upin-Ipin dan kawan-kawannya. Tidakkah masa kecil selalu digambarkan oleh keriangan? Tidakkah anak kecil harusnya berlarian dengan liar, jatuh, berdarah lalu menangis, dimarahi ibunya, menangis lagi dan esoknya ia ceria lagi, berlarian lagi, memanjat pohon, jatuh lalu menangis lagi…?
Mengapa uang sebesar Rp. 90,000 menghalangi Ramdhani dari semua siklus menyenangkan itu? Terkadang misteri hidup lebih rumit dari rumus fisika karya Einstein dan Newton, menurutku.
Fisioterapis itu, mengapa pula tak tergugah nuraninya dengan membebaskan biaya terapi bagi Ramdhani? Untuk apa ia menjadi fisioterapis? Untuk menolong orang yang membutuhkankah? Jika iya, saat ada seseorang yang membutuhkan tetapi tak punya duit tegakah ia menolaknya?
Bagaimana jika Ramdhani itu adalah adik kita, kakak kita, teman kita, atau malah kita sendiri?
©Bandung, Maret 2011
Komentar
Posting Komentar
Just post what's on your mind